Friday, January 28, 2011

Al-Waqtu fii Hayat Al-Muslim

  Perkara waktu bukanlah salah satu qodhiyah yang kecil  dalam kehidupan seorang muslim, melainkan ia merupakan urusan yang paling urgensi dalam Islam. Berapa banyak orang sukses dalam upayanya karena cerdas dalam mengatur waktu, dan berapa banyak orang yang hancur karena lalai dari padanya. Ulama-ulama kita terdahulu misalnya, keberhasilan mereka ternyata tanpa didukung oleh media-media yang memadai seperti saat ini, melainkan karena mereka tahu akan begitu berharganya waktu . Tidak jarang kita mendapatkan teguran agar pandai dalam mengatur waktu, baik itu dalam Al-kitab ataupun As-sunnah An-nabawiyah. Begitu pentingnya manajemen waktu, Allah swt sering kali bersumpah  menggunakan kata-kata itu dalam Al-qur'an, seperti al-lail wa an-nahar, wa al-fajri, wa ad-dhuha, wa al-ashri.


Mufassiriin  pun memberikan definisi bahwasanya ketika Allah bersumpah dengan sesuatu dari ciptaanNya maka itu adalah suruhan agar kita memperhatikannya, karena akan adanya manfaat dan dampak yang besar di balik itu. As-sunnah pun memeberikan penegasan dalam hal ini, dan memberikan penjelasan akan adanya  pertanggung jawaban manusia dalam menggunakan waktu di hadapan Allah swt, sehingga dua dari  empat pertanyaaan asas yang dihadapkan kepada seorang mukallaf ketika yaum al-hisab adalah bagaimana waktunya ia gunakan.

عن معاذ بن جبل أن النبى صلى الله عليه وسلم قال : "لن تزول قدما يوم القيامة حتى يسأل عن أربع حصال : عن عمره فيما أفنا وعن شبابه فيما أبلاه, وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه وعن علمه ماذا عمل به"
Dari Mu'azd Ibnu Jabal bahwa Rosulullah Saw bersabda: "Tidak akan berpindah kaki seseorang pada hari kiamat sehingga ia ditanya tentang empat perkara; tentang umurnya bagaimanakah ia menghabiskan, tentang masa mudanya bagaimanakah ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan di mana ia infaqkan, dan tentang ilmunya apa yang telah dilakukan".

Dalam bukunya penulis menjelaskan karakteristik waktu yang perlu kita ketahui
  1. Waktu itu  begitu cepat berlalu
  2. Sesungguhnya waktu yang telah berlalu tidak akan kembali dan tidak ada gantinya
  3. Ia adalah sesuatu yang paling berharga bagi manusia.
Waktu itu akan berlalu seperti berlalunya awan, ia akan berlari seperti berlarinya angin, baik itu ketika senang ataupun susah. Katika hari-hari senang maka ia seakan-akan begitu cepat pergi, namun ketika hari-hari sedih maka ia seakan-akan lambat bahkan tidak berjalan, tapi pada hakikatnya tidaklah demikian. Setiap hari ia akan berlalu, setiap jam ia akan sirna, ia tidak akan kembali seperti semula, dan ia tidak ada gantinya.

Dan inilah ungkapan yang pernah dikatakan Hasan Al bashri, "Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah kumpulan dari hari-hari, setiap kali hari itu berlalu maka berlalu pula sebagian umurmu.
Kemudian penulis juga memaparkan apa saja yang seharusnya dilakukan seorang muslim dalam menggunakan waktunya
  1. Hendaknya seorang muslim tamak terhadap pemanfaatan waktu
  2. Seorang muslim harus bisa memanfaatkan waktu luangnya sebelum datang waktu sempitnya
  3. Menjauhi tabzdir al-waqti
  4. Bersegera untuk melakukan kebaikan
  5. Wengambil pelajaran dari hari-hari yang telah lalu
  6. Manajemen waktu

Kewajiban utama seorang muslim terhadap waktu adalah menjaganya, seperti ia menjaga hartanya, bahkan lebih dari itu. Sungguh, para salaf as-sholih sangat tamak dalam pemanfaatan waktu, karena mereka adalah orang-orang yang lebih tahu akan berharganya waktu, mereka selalu memotifasi diri agar dari satu keadaan ke setiap keadaan itu lebih baik. Ungkapan mereka dalam hal ini adalah " barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka ia adalah orang yang beruntung, barang siapa hari ini sama dengan hari kemarin maka ia adalah orang yang merugi, dan barang siapa hari ini labih buruk dari kemarin maka ia adalah orang yang dilaknat.

Betapa sangat disayangkan kebanyakan dari kaum muslim yang saat ini kita ketahui, mereka lalai akan penggunaan waktu, menggunakannya untuk hal yang sama sekali tidak memberikan manfaat. Pada hakikatnya kebodohan dalam menghamburkan waktu itu lebih berbahaya dari pada menghamburkan harta, karena apabila harta itu hilang ada gantinya, tetapi apabila waktu yang hilang maka tidak ada gantinya.

Dari itulah, agar setiap waktu yang berlalu tidak sia-sia, penulispun menganjurkan selayaknya seorang muslim mempunyai manajemen waktu di antara kewajiban dan pekerjaan yang beragam, baik itu yang bersifat diniyah ataupun duniawiyah, sehingga tidak saling melampaui antara satu dengan yang lainnya, ataupun dari sesuatu yang penting di atas yang lebih penting.

Kemudian penulis memberikan penjelasan, sesungguhnya ada sebagian manusia yang memandang waktu yang akan datang itu dengan sudut pandang yang negativ. Mereka itu adalah orang-orang yang putus harapan terhadap masa depan mereka, tidak mempunyai cita-cita yang cerah, anggapan mereka bahwa hidup itu akan selamanya malam yang tidak akan menemui fajar, dan tidak  akan ada matahari yang menghapus kegelapan. Sudut pandang inilah yang akan menghancurkan dirinya dan orang sekelilingnya. Kehidupan seseorang yang tidak mempunyai cita-cita adalah kehidupan yang tidak ada ruh di dalamnya, tidak ada sebuah upaya untuk maju, dan tidak adanya kemajuan ilmu ke depan.
Pada kenyataannya, agama dan sejarah yang kita pelajari memberikan pernyataan sesungguhnya kemudahan itu datang setelah kesulitan, dan sesungguhnya setelah malam itu adalah fajar.
       
Pada bagian terakhir penulis menjelaskan bagaimanakah seharusnya seorang muslim itu mempunyai persfektif  terhadap waktu
  1. Seorang muslim harus melihat pada masa lalu dan menjadikannya satu pelajaran
  2. Ia harus melihat waktu yang akan datang
  3. Memberikan perhatian yang besar pada masa sekarang

Bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan meninggalkan atau melupakan masa lalu tanpa adanya satu  pelajaran yang diambil darinya dengan hujjah ia telah berlalu, karena ada suatu pelajaran, keutamaan, dan kelebihan yang diambil dari hal yang lama sedangkan ia tidak diperbaharui, bukankah Al-qur'an itu kalamullah yang tidak akan ada pembaharuan di dalamnya?

Oleh sebab itulah hendaknya seorang muslim menjadikan masa lalu itu sebagai cermin bagi dirinya, mengambil hikmah apa saja yang telah terjadi, meninggalkan dan menjauhi kesalahan yang terjadi di masa lalu agar tidak terulang kembali, dan yang tidak kalah penting adalah ia harus membuat perhitungan terhadap dirinya, "apakah yang harus ia lakukan, mengapa ia lakukan, apa yang harus ia tinggalkan, dan  mengapa ia tinggalkan?
Amirul mu'minin Umar bin Khattab pernah berkata : "Hitunglah dirimu sebelum kau di perhitungkan, dan timbanglah perbuatanmu sebelum kau dipertimbangkan".

No comments:

Post a Comment